
“Ruang Suara” kembali hadir sebagai ruang diskusi virtual yang mengupas isu-isu budaya, sosial, dan lingkungan dari sudut pandang kreatif. Pada edisi terbarunya, forum ini mengangkat tema “Simfoni Tiga Babak: Cipta, Pentas, Kelola”, sebuah bahasan mendalam tentang proses kesenimanan dalam dunia musik.
Di tengah derasnya arus digitalisasi dan perubahan selera publik, tiga sosok musisi lintas generasi berbagi pengalaman tentang makna berkarya, berproses, dan bertahan di dunia musik. Mereka bukan sekadar pemain alat atau pencipta lagu, melainkan penafsir zaman yang mengolah bunyi menjadi identitas.
Adalah Rino Dezapati, komposer dan pendiri Riau Rhythm yang dikenal lewat eksperimen musik lintas budaya. Rian Israq Hari Saputra (Ari Kantukk), pegiat musik tradisi sekaligus pendiri Ka Ga Nga Etnik Musik, serta Pangeran Arsola (Duke), musisi muda dari grup Sebumi yang memadukan kearifan lokal dengan semangat modern. Ketiganya hadir dalam gelar wicara bertajuk “Simfoni Tiga Babak: Cipta, Pentas, Kelola”, sebuah ruang dialog kreatif yang diinisiasi oleh Ruang Suara program dari Yayasan Svara Bumei Betuah yang konsisten memantik percakapan budaya dan ekosistem kreatif di Indonesia.

Babak Pertama: Menempa Ide dari Riset dan Pengalaman
Setiap karya lahir dari percikan kecil yang disebut ide, namun jalan menuju ide itu sering kali panjang. Rino menyebut riset sebagai jantung dari proses penciptaan. “Riset itu bukan cuma baca buku, tapi juga mendengar, merasakan, bahkan hidup bersama sumber budaya,” ujarnya. Dari riset pula lahir karya seperti Puti Indira Dunia yang bersumber dari teks-teks kuno Melayu.
Ari Kantuk menambahkan, inspirasi hanyalah gerbang. “Ide sejati muncul setelah perjalanan panjang dan pengalaman hidup,” katanya. Ia mencontohkan prosesnya menciptakan Nikma Enggano, yang berawal dari riset lapangan di Pulau Enggano, Bengkulu.
Sementara Duke mengungkapkan bahwa terkadang ide justru ditemukan di akhir proses. “Kita main dulu, eksplorasi dulu, baru tahu arah karyanya ke mana,” tuturnya. Semua sepakat bahwa kepekaan dan rasa ingin tahu adalah bahan bakar utama dalam dunia kreatif.
Babak Kedua: Produksi, Eksperimen, dan Keberanian Menyiasati Keterbatasan
Di babak ini, diskusi menyinggung sisi teknis bagaimana ide menjelma menjadi karya bunyi. Rino menekankan bahwa keterbatasan bukan penghalang. “Kalau alatnya nggak ada, cari cara lain. Itu siasat komposer,” ujarnya sambil bercerita tentang penggunaan gitar 14 senar dan Udu sebagai pengganti Tabla dalam karyanya Sound of Swarna Dipa.
Namun, ia juga memberi peringatan soal hibridisasi musik tradisi. “Kalau tidak hati-hati, hasilnya bisa jadi campur aduk dan kehilangan ruhnya,” tegasnya. Ari menimpali dengan mengutip I Wayan Sadra “Bebaskan alat musik dari beban kulturnya.” Baginya, yang penting bukan bentuk fisik alat, tapi pola musikal dan makna di baliknya.
Rino lalu merumuskan dua kunci penting memahami sumber tradisi dan merancang karya dengan segmen yang jelas. “Karya yang baik itu bukan cuma lahir, tapi didesain,” katanya.

Babak Ketiga: Mengelola dan Menghidupkan Karya
Tahap terakhir berbicara tentang strategi bertahan di dunia seni. Rino menekankan perbedaan antara seniman dan pekerja kreatif. “Seniman punya otoritas penuh atas karyanya. Tapi kalau bekerja untuk klien, kita juga belajar profesionalitas,” ujarnya.
Ia menolak logika kapitalistik yang memaksa seniman menjual nilai seni demi angka. “Karya tradisi itu bukan dijual, tapi dipentaskan,” tegasnya. Platform digital, menurutnya, adalah etalase dan arsip, namun panggung tetap menjadi ruh utama seni pertunjukan.
Duke dan Ari sepakat bahwa jejaring dan dokumentasi menjadi bagian vital dari pengelolaan karya. “Kalau mau bikin konten, jangan asal. Sewa videografer, tampilkan prosesnya,” pesan Duke.
Rino kemudian berbagi kisah sukses membangun konser Riau Rhythm 20 Tahun melalui kolaborasi UMKM. Kami kumpulkan dana lewat kerja sama dengan 20 UMKM lokal, masing-masing satu juta rupiah. Dari situ, acara bisa berjalan tanpa bergantung pada sponsor besar,” kisahnya.
Bagi Rino, strategi itu bukan sekadar mencari uang, tapi membangun ekosistem saling dukung antara seniman dan masyarakat.
Harmoni Tiga Babak
Menutup perbincangan, ketiga narasumber meninggalkan pesan penting. “Asah terus kemampuan, jangan biarkan AI menumpulkan kreativitas,” ujar Rino. “Selamat berproses, selalu ada jalan bagi yang konsisten,” tambah Ari. “Buat karya yang bisa dinikmati, nanti kurator akan datang sendiri,” pungkas Duke.
Dari “Simfoni Tiga Babak” kita belajar bahwa musik bukan sekadar bunyi, melainkan perjalanan menemukan diri, menyusun strategi, dan membangun jejaring. Sebuah simfoni panjang tentang bagaimana budaya terus hidup melalui cipta, pentas, dan kelola.


Tinggalkan Balasan